Scroll untuk baca artikel
BANGKA BELITUNG

Rangkap Jabatan Plt Bukan Pelanggaran, Hukum Justru Menyebutnya Amanat Kepercayaan

186
×

Rangkap Jabatan Plt Bukan Pelanggaran, Hukum Justru Menyebutnya Amanat Kepercayaan

Sebarkan artikel ini

JENDELABABEL.COM, PANGKALPINANG — Isu rangkap jabatan Pelaksana Tugas (Plt) kembali memantik perdebatan publik. Namun, jika dibedah dengan kacamata hukum kepegawaian, narasi negatif itu kerap berdiri di atas asumsi, bukan aturan. Negara, lewat regulasi Badan Kepegawaian Negara (BKN), justru telah memasang batas tegas agar rangkap tugas tidak berubah menjadi rangkap kekuasaan.

Surat Edaran Kepala BKN Nomor 1/SE/I/2021 menegaskan bahwa Pelaksana Tugas (Plt) maupun Pelaksana Harian (Plh) bukan jabatan definitif. Keduanya hanya menjalankan tugas rutin pejabat yang berhalangan sementara atau belum terisi. Kewenangannya pun dibatasi secara ketat, terutama dalam aspek kepegawaian dan kebijakan strategis.

Edaran yang diteken Kepala BKN Bima Haria Wibisana pada 14 Januari 2021 itu secara eksplisit melarang Plt dan Plh mengambil keputusan strategis yang berdampak pada perubahan status hukum kepegawaian. Mulai dari pengangkatan, pemindahan, hingga pemberhentian pegawai, semuanya berada di luar kewenangan Plt dan Plh. Dengan kata lain, Plt tidak memegang “kendali penuh”, melainkan hanya memastikan mesin birokrasi tetap hidup.

Dalam konteks ini, rangkap jabatan Plt sejatinya bukan penyimpangan, melainkan mekanisme administratif yang sah. Negara tidak sedang membuka ruang kekuasaan ganda, melainkan menutup potensi kevakuman jabatan. Plt ibarat pengemudi sementara: boleh menjalankan kendaraan, tapi dilarang mengubah arah.

Narasi ini diperkuat oleh mekanisme penunjukan Plt dan Plh itu sendiri. Kewenangan penunjukan sepenuhnya berada di tangan pejabat di atasnya. Artinya, proses tersebut bukan penunjukan sembarangan, apalagi hasil lobi pribadi.

“Kewenangan penunjukan Plt dan Plh dipegang oleh pejabat di atasnya. Otomatis, pejabat yang menunjuk akan memilih orang yang tepat dan kompeten dalam menjalankan tugas tersebut. Sekali lagi, penunjukan Plt/Plh adalah bentuk kepercayaan pimpinan terhadap pejabat yang ditunjuk,” ujar Yuliawan Burnani, salah satu Staf Khusus Gubernur Bidang Pemerintahan.

Pernyataan ini menegaskan bahwa Plt bukan produk kompromi politik dadakan, melainkan hasil pertimbangan struktural. Apalagi, penunjukan Plt atau Plh cukup dengan Surat Perintah, tanpa pelantikan dan tanpa sumpah jabatan. Konsekuensinya jelas: tidak ada tunjangan jabatan tambahan karena statusnya bukan jabatan struktural definitif.

Meski kewenangannya terbatas, Plt dan Plh tetap diperbolehkan menjalankan fungsi administratif harian. Menetapkan sasaran kerja pegawai, menandatangani kenaikan gaji berkala, memberikan cuti tertentu, menerbitkan surat tugas, hingga menjatuhkan hukuman disiplin ringan masih berada dalam koridor yang diizinkan. Garis merahnya tetap sama: tidak boleh masuk ke wilayah kebijakan strategis.

Surat Edaran BKN juga mengatur bahwa Plt atau Plh dapat berasal dari pejabat struktural maupun fungsional dengan jenjang tertentu, sepanjang memenuhi prinsip kesetaraan jabatan dan kebutuhan organisasi. Ini menegaskan bahwa kompetensi menjadi pertimbangan utama, bukan sekadar siapa yang paling dekat atau paling lama duduk di birokrasi.

Dengan demikian, polemik rangkap jabatan Plt seharusnya tidak digiring ke arah kecurigaan berlebihan. Selama penunjukan dilakukan sesuai aturan dan kewenangan tidak dilampaui, rangkap tugas justru menjadi instrumen stabilitas birokrasi, bukan ancaman tata kelola.

Di tengah derasnya opini publik, satu hal patut diingat: hukum administrasi negara sudah menyiapkan pagar. Yang diuji bukan sistemnya, melainkan kepatuhan para pelaksananya. (Redaksi/JB 007 Babel)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *